JAWA
budaya kuno yang sarat akan muatan muatan etnis jawa,... bernuansa kerajaan hindu buda juga islam dan kristen,..
Minggu, 11 November 2012
saridin
SARIDIN LAHIR
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _1a
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _1b
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _2a
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _2b
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _3a
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _3b
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _4a
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _4b
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _5a
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _5b
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _6a
- Kethoprak – Syeh Jangkung (Saridin) Lahir _6b(tamat)
Andum Waris
- Syeh Jangkung, Andum Waris 1a
- Syeh Jangkung, Andum Waris 1b
- Syeh Jangkung, Andum Waris 2a
- Syeh Jangkung, Andum Waris 2b
- Syeh Jangkung, Andum Waris 3a
- Syeh Jangkung, Andum Waris 3b
- Syeh Jangkung, Andum Waris 4a
- Syeh Jangkung, Andum Waris 4b
- Syeh Jangkung, Andum Waris 5a
- Syeh Jangkung, Andum Waris 5b
Geger Palembang
- Syeh Jangkung, Geger Palembang 2
- Syeh Jangkung, Geger Palembang 3
- Syeh Jangkung, Geger Palembang 4
- Syeh Jangkung, Geger Palembang5
Ontran-ontran Cirebon
- Syeh Jangkung, Ontran-ontran Cirebon 01
- Syeh Jangkung, Ontran-ontran Cirebon 02
- Syeh Jangkung, Ontran-ontran Cirebon 03
- Syeh Jangkung, Ontran-ontran Cirebon 04 (tamat)
Bedhahing Ngerom
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum1_1
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum1_2
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum1_3
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum2_1
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum2_2
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum2_3
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum3_1
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum3_2
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum3_3
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum4_1
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum4_2
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum4_3
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum5_1
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum5_2
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum5_3
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum6_1
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum6_2
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum6_3
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum7_1
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum7_2
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum7_3
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum8_1
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum8_2
- Seri Syeh Jangkung, Bedhahing Ngerum8_3(tamat)
Sultan Agung Tani
- Saridin Sultan Agung Tani 1a
- Saridin Sultan Agung Tani 1b
- Saridin Sultan Agung Tani 2a
- Saridin Sultan Agung Tani 2b
- Saridin Sultan Agung Tani 3a
- Saridin Sultan Agung Tani 3b
- Saridin Sultan Agung Tani 4a
- Saridin Sultan Agung Tani 4b
Keris Jangkung
- Keris Jangkung 01
- Keris Jangkung 02
- Keris Jangkung 03
- Keris Jangkung 04
- Keris Jangkung 05
- Keris Jangkung 06
- Keris Jangkung 07
- Keris Jangkung 08
- Keris Jangkung 09
- Keris Jangkung 10
- Keris Jangkung 11
- Keris Jangkung 12
- Keris Jangkung 13
- Keris Jangkung 14
DUMADINE LULANG KEBO LANDOH
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_1_1
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_1_2
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_1_3
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_2_1
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_2_2
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_2_3
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_3_1
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_3_2
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_3_3
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_4_1
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_4_2
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_4_3
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_5_1
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_5_2
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_5_3
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_6_1
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_6_2
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_6_3
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_7_1
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_7_2
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_7_3
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_8_1
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_8_2
- Syeh Jangkung, Dumadine Lulang Kebo Landoh_8_3
ANDHARANTE
Ketoprak Sri Kencono Budhoyo, Ondorante – Syeh Jangkung
Link Download Kethoprak Seri Syeh Jangkung, Andharante
- Serial Syeh Jangkung, Andharante_1
- Serial Syeh Jangkung, Andharante_2
- Serial Syeh Jangkung, Andharante_3
- Serial Syeh Jangkung, Andharante_4
Senin, 26 September 2011
BOROBUDUR 9401
Nama Borobudur
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. [1] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa sansekerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[2]
Struktur Borobudur
Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak, dengan enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya beberapa stupa.
Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur Mandala.
Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.
Relief
Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagan Relief | |||
---|---|---|---|
Tingkat | Posisi/letak | Cerita Relief | Jumlah Pigura |
Kaki candi asli | - ----- | Karmawibhangga | 160 pigura |
Tingkat I | - dinding | a. Lalitawistara | 120 pigura |
------- | - ----- | b. jataka/awadana | 120 pigura |
------- | - langkan | a. jataka/awadana | 372 pigura |
------- | - ----- | b. jataka/awadana | 128 pigura |
Tingkat II | - dinding | Gandawyuha | 128 pigura |
-------- | - langkan | jataka/awadana | 100 pigura |
Tingkat III | - dinding | Gandawyuha | 88 pigura |
-------- | - langkan | Gandawyuha | 88 pigura |
Tingkat IV | - dinding | Gandawyuha | 84 pigura |
-------- | - langkan | Gandawyuha | 72 pigura |
-------- | Jumlah | -------- | 1460 pigura |
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur